PENDAHULUAN
a.
Latar Belakang
Bahasa Indonesia merupakan
pelajaran yang menerangkan mengenai hal-hal yang sering terjadi/umum dalam
kehidupan kita. Dalam pembelajaran, Bahasa Indonesia merupakan pelajaran yang
sangat erat kaitannya dengan bidang membaca,menulis,berbicara, dll. Dalam
Bahasa Indonesia, banyak sekali terdapat materi-materi yang sangat penting
untuk dipahami dan ditelusuri lebih lanjut, salah satunya puisi, puisi
merupakan suatu karya sastra yang sampai saat ini masih dipergunakan oleh
masyarakat setempat.
b. Permasalahan
Puisi
merupakan suatu karya sastra yang tersusun dalam bait-bait dan menggunakan kata
yang singkat dan padat makna. Karya sastra disusun
oleh dua unsur yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik, tidak terkecuali pada
puisi. Unsur intrinsik karya sastra adalah unsur-unsur penyusun karya sastra
yang terdapat di dalam karya tersebut, sedangkan unsur ekstrinsik karya sastra
adalah unsur-unsur penyusun karya sastra yang berada di luar karya sastra.
Unsur ekstrinsik sebuah karya sastra dari luarnya
menyangkut aspek sosiologi, psikologi, dan lain-lain. Tidak ada sebuah karya sastra yang
tumbuh otonom, tetapi selalu pasti berhubungan secara ekstrinsik dengan luar
sastra, dengan sejumlah faktor kemasyarakatan seperti tradisi sastra,
kebudayaan lingkungan, pembaca sastra, serta kejiwaan mereka. Dengan demikian,
dapat dinyatakan bahwa unsur ekstrinsik ialah unsur yang membentuk karya sastra
dari luar sastra itu sendiri. Untuk melakukan pendekatan terhadap unsur
ekstrinsik, diperlukan bantuan ilmu-ilmu kerabat seperti sosiologi, psikologi,
filsafat, dan lain-lain yang akan
berpengaruh terhadap nilai-nilai dan norma yang terkandung dalam suatu puisi.
PEMBAHASAN MASALAH
a. Pengertian
Unsur Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik adalah
unsur yang membentuk karya sastra yang berasal dari luar karya sastra itu
sendiri. Unsur ini meliputi unsure agama, ekonomi, budaya, politik, biografi
penyair.
Unsur ekstrinsik sebuah karya sastra dari luarnya
menyangkut aspek sosiologi, psikologi, dan lain-lain. Tidak ada sebuah karya sastra yang
tumbuh otonom, tetapi selalu pasti berhubungan secara ekstrinsik dengan luar
sastra, dengan sejumlah faktor kemasyarakatan seperti tradisi sastra,
kebudayaan lingkungan, pembaca sastra, serta kejiwaan mereka. Dengan demikian,
dapat dinyatakan bahwa unsur ekstrinsik ialah unsur yang membentuk karya sastra
dari luar sastra itu sendiri. Untuk melakukan pendekatan terhadap unsur
ekstrinsik, diperlukan bantuan ilmu-ilmu kerabat seperti sosiologi, psikologi,
filsafat, dan lain-lain.
b. Hubungan
antara suatu karya sastra dengan kehidupan pengarang
sebuah karya sastra yang baik mustahil dapat menghindar
dari dimensi kemanusiaan. Kejadian-kejadian yang terjadi dalam masyarakat pada
umumnya dijadikan sumber ilham bagi para sastrawan untuk membuat suatu karya
sastra. Suatu keabsahan jika dalam karya sastra terdapat unsur-unsur ekstrinsik
yang turut mewarnai karya sastra. Unsur-unsur ektrinsik yang dimaksud seperti
filsafat, psikologi, religi, gagasan, pendapat, sikap, keyakinan, dan visi lain
dari pengarang dalam memandang dunia. Karena unsur-unsur ekstrinsik itulah yang
menyebabkan karya sastra tidak mungkin terhindar dari amanat, tendensi, unsur
mendidik, dan fatwa tentang makna kearifan hidup yang ingin disampaikan kepada
pembaca.
Sastrawan berupaya untuk menyalurkan obsesinya agar mampu
dimaknai oleh pembaca. Visi dan persepsinya tentang manusia di muka bumi bisa
ditangkap oleh pembaca, dan pembaca terangsang untuk tidak melakukan hal-hal
yang berbau hedonis dan tidak memuaskan kebuasan hati. Persoalan amanat,
tendensi, unsur edukatif dan nasihat bukanlah hal yang terlalu berlebihan dalam
karya sastra. Bahkanunsur-unsur tersebut merupakan unsur paling esensail yang
perlu digarap dengan catatan tanpa meninggalkan unsur estetikanya. Sebab jika
sebuah tulisan hanya mengumbar pepatah-petitih sosial, kepincangan-kepincangan
sosial, tanpa diimbangi aspek estetika, namanya bukan karya sastra. Tulisan
tersebut hanyalah sebuah laporan jurnalistik yang mengekspose kejadian-kejadian
negatif yang tenagh berlangsung di tengah masyarakat. Oleh sebab itu, kehadiran
unsur-unsur tersebut bersama dengan proses penggarapan kara sastra.
c.
Biografi singkat salah satu sastrawan
Nusantara
Chairil Anwar
Chairil Anwar dilahirkan di Medan pada 26 Juli 1922. Dia merupakan anak
tunggal dari pasangan Toeloes dan Saleha. Ayahnya bekerja sebagai pamongpraja.
Ibunya masih mrmpunyai pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia. Chairil dibesarkan dalam
keluarga yang berantakan. Kedua orang tuanya bercerai dan ayahnya menikah lagi
dengan wanita lain. Setelah perceraian itu, Chairil mengikuti ibunya merantau
ke Jakarta. Saai itu, ia baru lulus SMA.
Chairil masuk Hollands
Inlandsche School (HIS),
sekolah dasar untuk orang-orang pribumi waktu penjajah Belanda. Dia kemudian
meneruskan pendidikannya di Meer
Uitgebreid Lager Onderwijs, sekolah menengah pertama Belanda, tetapi dia
keluar sebelum lulus. Dia mulai untuk menulis sebagai seorang remaja, namun tak
satu pun puisi awalnya yang ditemukan. Meskipun pendidikannya tak selesai,
Chairil menguasai bahasa Inggris, bahasa Belanda dan bahasa Jerman. Ia mengisi
waktu luangnya dengan membaca buku-buku dari pengarang internasional ternama,
seperti Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J.
Slaurhoff dan Edgar du Perron. Penulis-penulis ini sangat mempengaruhi
tulisannya dan secara tidak langsung mempengaruhi puisi tatanan kesusasteraan
Indonesia.
Semasa kecil di Medan, Chairil sangat dekat dengan neneknya. Keakraban ini
memberikan kesan lebih pada hidup Chairil. Dalam hidupnya yang jarang berduka,
salah satu kepedihan terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia. Chairil
melukiskan kedukaan itu dalam sajak yang pedih sebagaimana yang tertulis dalam
kutipan (1).
(1)
Bukan kematian benar yang menusuk kalbu/ Keridlaanmu
menerima segala tiba/ Tak kutahu setinggi itu atas debu/ Dan duka maha tuan
bertahta
Sesudah nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling Chairil sayangi. Dia bahkan terbiasa menyebut
nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu. Hal itu ia lakukan sebagai tanda bahwa
ia yang mendampingi nasib ibunya. Di depan ibunya juga, Chairil sering kali
kehilangan sisi liarnya. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya
pada ibunya.
Chairil Anwar mulai memiliki perhatian terhadap kesusasteraan sejak sekolah
dasar. Di masa itu, ia sudah menulis beberapa sajak yang memiliki corak
Pujangga Baru, namun ia tidak menyukai sajak-sajak tersebut dan membuangnya.
Begitulah pengakuan Chairil Anwar kepada kritikus sastra HB. Jassin. Seperti
yang ditulis oleh Jassin sendiri dalam Chairil
Anwar Pelopor Angkatan 45.
Sejak kecil, semangat Chairil terkenal kegigihannya.
Seorang teman dekatnya, Sjamsul Ridwan, pernah membuat suatu tulisan tentang
kehidupan Chairil Anwar ketika semasa kecil. Menurut dia, salah satu sifat
Chairil pada masa kanak-kanaknya ialah pantang dikalahkan, baik pantang kalah
dalam suatu persaingan, maupun dalam mendapatkan keinginan hatinya. Keinginan
dan hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu
meluap-luap, menyala-nyala, boleh dikatakan tidak pernah diam.
Jassin juga pernah bercerita tentang salah satu sifat sahabatnya tersebut,
“Kami pernah bermain bulu tangkis bersama, dan dia kalah. Tapi dia tak mengakui
kekalahannya, dan mengajak bertanding terus. Akhirnya saya kalah. Semua itu
kerana kami bertanding di depan para gadis.”
Wanita adalah dunia Chairil sesudah buku. Tercatat nama Ida, Sri Ayati,
Gadis Rasyid, Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Semua nama gadis itu masuk ke dalam
puisi-puisi Chairil. Hapsah adalah gadis kerawang yang menjadi pilihannya untuk
menemani hidup dalam rumah tangga. Pernikahan itu tak berumur panjang. Karena
kesulitan ekonomi dan gaya hidup Chairil yang tak berubah, Hapsah meminta
cerai. Saat itu, anaknya baru berumur tujuh bulan dan Chairil pun menjadi duda.
Tak lama setelah itu, pukul 15.15 WIB, 28 April
1949, Chairil meninggal dunia. Ada beberapa versi tentang sakitnya, namun
banyak pendapat yang mengatakan bahwa TBC kronis dan sipilislah yang menjadi
penyebab kematiannya. Umur Chairil memang pendek, 27 tahun. Kependekan itu
meninggalkan banyak hal bagi perkembangan kesusasteraan Indonesia. Malah dia
menjadi contoh terbaik untuk sikap yang tidak bersungguh-sungguh di dalam
menggeluti kesenian.
d. Unsur Ekstrinsik dalam
Puisi Aku
Puisi yang sebelumnya berjudul Semangat ini terdapat dua versi yang berbeda.
Terdapat sedikit perubahan lirik pada puisi tersebut. Kata ‘ku mau’ berubah menjadi
‘kutahu’. Pada kata ‘hingga
hilang pedih peri’, menjadi ‘hingga hilang pedih dan peri’. Kedua versi
tersebut terdapat pada kumpulan sajak Chairil yang berbeda, yaitu versi Deru Campur Debu, dan Kerikil Tajam. Keduanya adalah
nama kumpulan Chairil sendiri, dibuat pada bulan dan tahun yang sama. Mungkin
Chairil perlu uang, maka sajaknya itu dimuat dua kali, agar dapat dua honor.
Penjelajahan Chairil Anwar berpusar pada pencariannya akan corak bahasa
ucap yang baru, yang lebih ‘berbunyi’ daripada corak bahasa ucap Pujangga Baru.
Chairil Anwar pernah menuliskan betapa ia betul-betul menghargai salah seorang
penyair Pujangga Baru, Amir Hamzah, yang telah mampu mendobrak bahasa
ucap penyair-penyair sebelumnya. Idiom
‘binatang jalang’ yang digunakan dalam sajak tersebut pun sungguh suatu
pendobrakan akan tradisi bahasa ucap Pujangga Baru yang masih cenderung
mendayu-dayu.
Secara makna, puisi Aku tidak menggunakan kata-kata yang
terlalu sulit untuk dimaknai, bukan berarti dengan kata-kata tersebut lantas
menurunkan kualitas dari puisi ini. Sesuai dengan judul sebelumnya, puisi
tersebut menggambarkan tentang semangat dan tak mau mengalah, seperti Chairil
sendiri.
Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Pada lirik pertama, chairil berbicara masalah waktu seperti pada kutipan
(2).
(2)
Kalau sampai waktuku
Waktu yang dimaksud dalam kutipan (2) adalah sampaian dari waktu atau
sebuah tujuan yang dibatasi oleh waktu. Seperti yang telah tertulis di atas,
bahwa Chairil adalah penyair yang sedang dalam pencarian bahasa ucap yang
mampu memenuhi luapan ekspresinya sesuai dengan yang diinginkannya, tanpa harus
memperdulikan bahasa ucap dari penyair lain saat itu. Chairil juga memberikan
awalan kata ‘kalau’ yang berarti sebuah pengandaian. Jadi, Charil
berandai-andai tentang suatu masa saat ia sampai pada apa yang ia cari selama
ini, yaitu penemuan bahasa ucap yang berbeda dengan ditandai keluarnya puisi
tersebut.
(3) 'Ku mau tak seorang 'kan merayu
Pada kutipan (3) inilah watak
Charil sangat tampak mewarnai sajaknya. Ia tahu bahwa dengan menuliskan puisi Aku ini akan memunculkan banyak protes
dari berbagai kalangan, terutama dari kalangan penyair. Memang dasar sifat
Chairil, ia tak menanggapi pembuicaraan orang tentang karyanya ini, karena
memang inilah yang dicariny selama ini. Bahkan ketidakpeduliannya itu lebih dipertegas
pada lirik selanjutnya pada kutipan (4).
(4) Tidak juga kau
Kau yang dimaksud dalam
kutipan (4) adalah pembaca atau penyimak dari puisi ini. Ini menunjukkan betapa
tidak pedulinya Chairil dengan semua orang yang pernah mendengar atau pun
membaca puisi tersebut, entah itu baik, atau pun buruk.
Berbicara tentang
baik dan buruk, bait selanjutnya akan berbicara tentang nilai baik atau buruk
dan masih tentang ketidakpedulian Chairil atas keduanya.
(5) Tidak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Zaini, salah seorang Sahabat Chairil pernah bercerita, bahwa ia pernah
mencuri baju Chairil dan menjualnnya. Ketika Chairil mengetahui perbuatan
sahabatnya itu, Chairil hanya berkata, “Mengapa aku begitu bodoh sampai bisa
tertipu oleh kau”. Ini menunjukkan suatu sikap hidup Chairil yang tidak
mempersoalkan baik-buruknya suatu perbuatan, baik itu dari segi ketetetapan
masyarakat, maupun agama. Menurut Chairil, yang perlu diperhatikan justru lemah
atau kuatnya orang.
Dalam kutipan (5), ia menggunakan kata ‘binatang jalang’,
karena ia ingin menggambar seolah seperti binatang yang hidup dengan bebas,
sekenaknya sendiri, tanpa sedikitpun ada yang mengatur. Lebih tepatnya adalah
binatang liar. Karena itulah ia ‘dari kumpulannya terbuang’. Dalam suatu
kelompok pasti ada sebuah ikatan, ia ‘dari kumpulannya terbuang’ karena tidak
ingin mengikut ikatan dan aturan dalam kumpulannya.
(6) Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa
kubawa berlari
Berlari
Berlari
Hingga hilang
pedih peri
Peluru tak akan pernah lepas dari pelatuknya, yaitu pistol. Sebuah pistol
seringkali digunakan untuk melukai sesuatu. Padakutipan (6), bait tersebut
tergambar bahwa Chairil sedang ‘diserang’ dengan adanya ‘peluru menembus
kulit’, tetapi ia tidak mempedulikan peluru yang merobek kulitnya itu, ia
berkata “Biar”. Meskipun dalam keadan diserang dan terluka, Chairil masih
memberontak, ia ‘tetap meradang menerjang’ seperti binatang liar yang sedang
diburu. Selain itu, lirik ini juga menunjukkan sikap Chairik yang tak mau
mengalah.
Semua cacian dan berbagai
pembicaraan tentang baik atau buruk yang tidak ia pedulikan dari sajak tersebut
juga akan hilang, seperti yang ia tuliskan pada lirik selanjutnya.
(7) Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Inilah yang menegaskan watak dari penyair atau pun dari puisi ini, suatu
ketidakpedulian. Pada kutipan
(7), bait ini seolah menjadi penutup dari puisi tersebut. Sebagaimana sebuah
karya tulis, penutup terdiri atas kesimpulan dan harapan. Kesimpulannya adalah ‘Dan aku akan lebih tidak perduli’, ia
tetap tidak mau peduli. Chairil berharap bahwa ia masih hidup seribu tahun lagi
agar ia tetap bisa mencari-cari apa yang diinginkannya.
Disamping Chairil ingin menunjukkan ketidakpeduliannya
kepada pembaca, dalam puisi ini juga terdapat pesan lain dari Chairil, bahwa
manusia itu itu adalah makhluk yang tak pernah lepas dari salah. Oleh karena
itu, janganlah memandang seseorang dari baik-buruknya saja, karena kedua hal
itu pasti akan ditemui dalam setiap manusia. Selain itu, Chairil juga ingin
menyampaikan agar pembaca tidak perlu ragu dalam berkarya. Berkaryalah dan
biarkan orang lain menilainya, seperti apa pun bentuk penilaian itu.
KESIMPULAN
Dari laporan
singkat diatas maka dapat kita simpulkan bahwa :
1.
Unsur ektrinsik adalah
unsur-unsur dari luar karya sastra yang mempengaruhi isi karya sastra. Contoh
unsur ekstrinsik adalah nilai, psikologi, norma, Agama, sejarah, filsafat, ideologi, politik.
2.
Chairil Anwar
dilahirkan di Medan pada 26 Juli 1922. Dia merupakan anak tunggal dari pasangan
Toeloes dan Saleha. Ia meninggal pada pukul 15.15 WIB, 28 April 1949. Penyebab
kematiaannya terdapat beberapa versi tentang sakitnya, namun banyak pendapat
yang mengatakan bahwa TBC kronis dan sipilislah yang menjadi penyebabnya. Umur
Chairil 27 tahun. Namun, kependekan itu meninggalkan banyak hal bagi
perkembangan kesusasteraan Indonesia. Malah dia menjadi contoh terbaik untuk
sikap yang tidak bersungguh-sungguh dalam menggeluti kesenian.
3.
Unsur ekstrinsik dalam puisi Aku ini adalah Psikologi pengarangnya,
Chairil Anwar. Penjelajahan Chairil Anwar berpusar pada pencarian corak bahasa
ucap baru yang lebih ‘berbunyi’ daripada corak bahasa ucap Pujangga Baru. Ia
menghargai salah seorang penyair Pujangga Baru, Amir Hamzah, yang telah
mampu mendobrak bahasa ucap penyair-penyair sebelumnya. SajakAku adalah sajak yang paling memiliki
corak khas dari beberapa sajak Chairil lainnya. Sajak trsebut bersifat
destruktif terhadap corak bahasa ucap yang biasa digunakan penyair
Pujangga Baru seperti Amir Hamzah sekalipun. Idiom ‘binatang jalang’ yang
digunakan dalam sajak tersebut pun sungguh suatu pendobrakan akan tradisi
bahasa ucap Pujangga Baru yang masih cenderung mendayu-dayu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar